Jumat, 05 Maret 2010

pidato presiden opsi a

Sabtu, 6 Maret 2010 | 05:03 WIB
Sulit disangkal bahwa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil akhir Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Kamis (4/3), relatif sangat mirip dengan opsi A yang dihasilkan Pansus. Dan opsi tersebut sudah kandas dengan selisih 113 suara (212 melawan 325).
Dengan demikian, bagi rakyat yang menunggu-nunggu sesuatu yang baru dari bagian-bagian awal pidato Presiden, barangkali mereka akan kecewa.
Di bagian depan, Presiden tampak menekankan kesan bahwa apa yang sudah dilakukan Pansus serta paripurna DPR, bahkan juga aktivitas ekstra-parlementer masih kurang dari standar Presiden tentang ”sebuah demokrasi yang lebih sejati, lebih bermakna, dan lebih bermartabat, sebagaimana yang kita cita-citakan melalui gerakan reformasi sejak 1998” (bagian dalam tanda petik merupakan kutipan langsung dari pidato Presiden).
Memang masih ada frasa pelembut, semacam ”Presiden sangat menghormati proses politik yang telah berjalan di DPR dan mengikuti dengan cermat semua dinamika yang terjadi di dalam maupun di luar Gedung DPR”.
Namun, impresi sesungguhnya yang ingin disampaikan Presiden tampak dominan dalam ungkapan-ungkapan seperti: ”Kita perlu mencermati dengan saksama proses itu dan melihatnya sebagai bagian dari perkembangan, pertumbuhan, dan pembelajaran demokrasi yang kian hari kian dituntut untuk memenuhi tidak saja prinsip-prinsip rule of law, tetapi juga rule of reason, yaitu demokrasi berdasarkan hukum dan akal sehat”.
Sayangnya, pidato Presiden ini menjadi cenderung salah waktu dan salah tempat. Andai saja pidato ini disampaikan sebelum Pansus Century merumuskan rekomendasi dan kesimpulan, hal tersebut mungkin bisa menjadi pertimbangan Pansus.
Bisa saja konstelasi hasil akhir bukan 325 lawan 212! Atau bahkan jika saja Presiden mau berbicara di hadapan Pansus, barangkali logika-logika yang dikedepankan Presiden lebih memperkuat aliansi untuk memilih opsi A!
Tak boleh diskriminatif
Setelah mendapat pengantar pidato seperti itu, tentu akan bermanfaat bila semua bagian tanggapan Presiden melalui pidato tersebut diaplikasikan terhadap rule of law dan rule of reason yang sama.
Misalnya saja terhadap ungkapan berikut ini: ”Boleh jadi di masa krisis dan keadaan yang serba darurat, ketika keputusan harus diambil dengan sangat cepat, ada masalah-masalah teknis yang mungkin terlewatkan. Namun, tidak berarti kebijakannya salah dan harus dipidanakan. Sangat sulit membayangkan negara kita dapat berjalan baik dan efektif jika setiap kebijakan yang tepat justru berujung dengan pemidanaan”.
Sekiranya pun kita setuju dengan pernyataan dan niat tulus ini, logika sehat kita akan sampai pada fakta berupa perlakuan diskriminatif. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan divonis empat tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, ia tidak terbukti memperoleh sesuatu ataupun keuntungan dari pengeluaran uang lewat Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang dipermasalahkan.
Dengan fakta ini, terbuka dua logika yang saling berhadapan. Pertama, Aulia Pohan tidak boleh diperlakukan diskriminatif dan karena itu harus diperjuangkan segera kebebasannya.
Kedua, bila tidak demikian, bisa timbul kesan bahwa seorang pejabat publik baru diperjuangkan haknya atas kebijakan yang diperbuat apabila terkait dengan implikasi politis yang signifikan saja. Dalam konteks terkini, katakanlah isu pemakzulan yang juga disinggung Presiden dalam pidatonya.
Politik akal sehat
Di luar isu di atas, pidato Presiden memang lebih menggunakan akal sehat dibanding proses yang terjadi di DPR. Presiden—menurut hemat saya—tetap setia pada opsi A sejak dari awal hingga akhir pidatonya. Sementara di DPR, kita lihat terjadi pelanggaran-pelanggaran akal sehat.
Pertama, amat sulit memahami rasionalitas dari mereka yang mengusulkan opsi A digabung dengan opsi C menjadi sebuah obyek voting baru. Kita tidak perlu menjadi pakar ilmu roket untuk mengatakan opsi A (yang esensinya mengindikasikan ”not guilty”) memiliki kontradiksi internal hakiki dengan opsi C (yang basisnya mengindikasikan ”guilty”).
Di sana-sini ada beberapa tambahan kembangan frasa yang agak berdekatan, tetapi hakikat pokoknya sangat berbeda.
Yang lebih parah lagi adalah—jika kita mau jujur—fraksi yang ikut bersusah payah memperjuangkan pada voting pertama agar opsi A + C bisa diterima sebagai obyek pemungutan suara baru, tetapi pada voting kedua menolak mendukung opsi A.
Sekali lagi, apabila sudah yakin bahwa opsi A hakikatnya bertentangan dengan opsi C, mengapa susah-payah memperjuangkan ”makhluk aneh A + C”? Namun, itulah realitas politik kita dewasa ini.
Puncak pelanggaran akal sehat bisa terjadi ketika opsi C sudah menang telak, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu membongkar kasus Century karena tidak didukung kejaksaan dan kepolisian. Sampai kini, sudah dua kali ajakan KPK untuk berkoordinasi menuntaskan kasus ini terkesan ditolak dengan aneka alasan.
Akhirnya, bersamaan dengan kritik dan harapan dari pidato Presiden, pujian tetap harus kita berikan pada bintang-bintang muda Pansus lintas-fraksi. Mereka mampu menyusun argumen dengan baik dan sistematis.
Sekalipun kita harus menyatakan sinyalemen Presiden soal komunikasi politik yang lebih bermartabat ada benarnya, tetapi tampaknya bukan bintang-bintang muda ini yang terkena.
Presiden harus lebih berani juga melakukan evaluasi komunikasi politik bermartabat di antara anggota Pansus dari partai yang dibinanya.
Oleh: Effendi Gazali
Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

0 komentar: